Resume
Hindhu dan Budha di Indonesia
Disusun Oleh Kelompok VI:
AULIYA NUFUS
SITI MALIHA UZMA
AGUS AN'IN
MARDIANTO
Fakultas Ushluddin
Jurusan Perbandingan Agama (A)
UIN Syarif Hidayatullah
JAKARTA
2013-2014
RESUME PERTEMUAN KE SATU
SEJARAH KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDHU DAN BUDHA
DI INDONESIA
1.
Kedatanganan dan Pembawanya
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali di mulai
dengan kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman
jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta mahluk-mahluk
yang ajaib. Kedatangan orang-orang majapahit menciptakan zaman baru. Akan
tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman majapahit, di Bali Selatan
sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama
zaman mataram kuno (antara tahun 600 dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng
dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa
kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena pengaruh Mataram.[1] Pada
akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11 di Bali memerintah seorang raja, Dharmodayana
yang berpermaisurikan keturuna Empu Sindok, Mahendradatta, dan
melahirkan Erlangga. Dengan demikian pada waktu itu Bali dihubungkan
dengan Jawa. Erlangga kemudian memerintah atas Jawa, sedang di Bali memerintah
atas nama Erlangga, seorang adiknya. Sesudah Erlangga wafat agaknya hubungan
antara Jawa dan Bali menjadi kendor. Pada tahun 1284, Krtanagara, raja
Singasari menaklukkan Bali. Penaklukkan ini agaknya hanya bersifat sementara
saja, sebab pada tahun 1383 Majapahit mengutus tentaranya di bawah pimpinan
Gajah Mada menyerbu Bali. Kali ini penaklukkan dilakukan secara mendalam. Gajah
Mada mendatangkan bangsawan-bangsawan dari Majapahit. Pemimpin para bangsawan
ini mendirikan suatu kerajaan dengan ibukotanya Srampangan, yang
kemudian dipindahkan ke Klungkung. Raja ini bergelar Dewa Agung. Sesudah
Majapahit jatuh pada awal abad ke-16, Bali terisolir dari daerah-daerah lainnya
di Indonesia, hingga kedatangan bangsa Belanda. Sebelum kedatangan Belanda,
Bali dan Jawa berkembang sendiri-sendiri[2]
Hindu merupakan agama impor yang pertama
kali masuk ke Indonesia dan berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang
notabenenya sudah mempercayai Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai
pembaharu dari agama Hindu yang dibawa oleh Sidharta Gautama. Yang pada
perjalannya sang Buddha sendiri melakukan pengembaraan untuk mencari penerahan
yang abadi. Sedangakan Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar abad
ke 7 M, yang dibawa oleh para Rsi maupun para Bikhhu. Harun Hadiwijono
mengatakan bahwa kira-kira abad ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia
memasuki Indoneisa dari daratan Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu
jalur utara dan barat. Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin, dan
menyebrang di Sulawesi, Indoneisa bagian Timur, Irian dan Melanesia, sedangakan
jalur barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar di Sumatra, Jawa
dan Kalimantan.Dan dari perjalan atau jalur tersebut, saya berpendapat ini
merupakan salah satu cara masuknya atau berkembanganya pengaruh agama Hindu dan
Buddha di Indonesia. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau
teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:
a. Teori Brahman
Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van
Leur, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum
Brahman. Hanya kaum Brahmanalah yang berhak mempelajari serta mengajarkan
agama Hindu karena hanya kaum Brahmanlah yang mengerti isi kitab suci
Weda.
b. Teori Kesatria
Menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens
berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria
atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India
abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke
Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
c. Teori Wasiya
Yang dikemukakan oleh N.J. Krom,
mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang
dari kasta waisya yang menetap di Indonesai dan kemudian memegang peranan
penting dalam proses penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu
d. Teori Sudra
Von van Faber, menyatakan bahwa
agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta sudra. Tujuan mereka adalah
mengubah kehidupan karena di India mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan
budak. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi
andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
e. Teori Campuran
Teori ini beranggapan bahwa baik
kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun golongan sudra bersama-sama
menyebarkan agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan peran masing-masing
f. Teori Arus Balik
Menurut pendapat FD. K. Bosh, teori
arus balik ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran
kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di
Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini
dalam penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua
tahap yaitu sebagai berikut: Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh
golongan pendeta Buddha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia
termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk
masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi
biksu, berusaha belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka
membawa kitab suci, bahasa sansekerta
Kedua, proses penyebaran kedua
dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut
aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus
mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi
Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat
melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
Pada dasarnya teori Brahmana,
Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak
mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan
bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab
suci Weda
Jadi hubungan dagang telah
menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia.
Beberapa teori di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha
merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh
proses perdagangan
2. Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia adalah negara yang kaya akan
budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak tutur manusia dalam kehidupannya
sehari-hari. Khususnya Pulau Jawa tradisi lokal pribumi Jawa sendiri
sejak dulu telah mewarnai kebudayaan setempat. Di tambah lagi dengan
masuknya pengaruh dari Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah oleh
orang-orang Jawa karena memang banyak kesamaan dengan kepecayaan asli bangsa
Indonesia. Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan
munculnya kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan
Hindu-Buddha di Indonesia.
3. Persamaan dan Perbedan dengan Hindhu
dan Budha di Indonesia
·
Persamaan
Hindhu di Indonesia dan di Bali
Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai
daerah di Indonesia maupun di India
adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan
nama Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa
4. Pengertian Hindhu Dharma dan Budha
Dharma
·
Kata
"Dharma" berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr"
(baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau
menuntun. Akar kata "dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma
yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta
segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat
pula berarti kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti
ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti
yang luhur.
·
Dharma adalah
ajaran yang benar ajaran sang Buddha. Ajaran yang diajarkan oleh orang yang
telah mencapai Penerangan Sempurna; sang Buddha. Ada tiga kaidah keagamaan bagi
agama Buddha yang disebut Sutra (ajaran yang diajarkan
oleh sang Buddha sendiri), Vinaya (disiplin-disiplin
yang diberikan oleh sang Buddha), dan Abidharma (komentar-komentar
dan diskusi-diskusi tentang Sutra dan Vinaya oleh para sarjana di zaman-zaman
belakangan). Ketiga-tiganya ini disebut Tripitaka, dan Dharma itu merupakan
satu dari Tri Ratna atau Tiga Mustika agama Buddha.[3]
Namun di
kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan Buddha Gautama tidak
harus dipandang sebagai agama atau filsafat saja, karena pengertian yang
menunjuk kepada arti agama atau filsafat atau semua fenomena yang
terdapat di alam ini telah tercakup dalam istilah dharma (sansesekerta)
ataudhamma (pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Gautama. Dengan
demikian, pemakaian istilah Buddha
Dharma atau Buddha Dhamma lebih sering
dipergunakan oleh para pemeluk agama Buddha dari pada istilah agama.
RESUME PERTEMUAN KE DUA
A. KONSEP KETUHANAN DAN DEWA DALAM AGAMA HINDU
Sesungguhnya agama Hindu adalah agama tertua di dunia, hal itu bisa
dibuktikan dalam usia penelitian kitab-kitab Weda yang dilontarkan oleh para
ahli bahwa agama yang berasal dari benua India ini tumbuh dan berkembang pada
sekitar 6000 tahun sebelum masehi.
Bahkan dalam ekspedisi
penggalian di Mesir telah ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka
tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hitites. Dalam
perjanjian tersebut juga ada istilah Maitra Waruna yaitu sebagai gelar
manisfestasi Sang Hyang Widhi Wasa yang menurut agama Hindu
disebut-sebut dalam Weda disebut saksi.
Sedangkan perkembangannya
di Indonesia diperkirakan masuk pada awal tahun Masehi yang dibawa oleh para
musafir dari India seperti Maha Resi Agastya yang dalam istilah Jawanya
terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana serta para musafir dari
Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.
Menurut I Wayan Suja
proses Agama Hindu cepat berkembang di negeri ini karena adanya persamaan
unsur-unsur antara agama Hindu dan dengan kepercayaan asli, seperti 1) agama
Hindu memuja Brahman dan para dewa, sedangkan kepercayaan nenek moyang kita
memuja roh leluhur. 2) tempat pemujaan agama Hindu berupa lingga, candi, dan
arca, sedangkan tempat pemujaan nenek moyang berupa menhir, punden berundak,
tahta batu, dan patung. 3) upacara agama Hindu dipimpin oleh kaum Brahmana,
sedangkan upacara nenek moyang dipimpin oleh dukun (I Wayan, Bali Post, 1997:
85). Adapun pembuktian secara fisik sangat signifikan dengan adanya peninggalan
prasasti dan bangunan suci (seperti candi-candi yang tersebar di Indonesia).
Keesaan Tuhan serta WujudNya
Tidaklah mudah untuk
memberikan penjelasan tentang Tuhan karena keterbatasan akal manusia, hal itu
menunjukkan begitu kecilnya manusia dihadapanNya. Meski begitu manusia tetaplah
membaktikan dirinya dihadapanNya sebagamana tertuang dalam sabda suci Rg veda
X.129.6 yaitu:
Sesungguhnya siapakah yang
mengenalaNya. Siapa pula yang dapat mengatakan kapan penciptaan itu. Dana kapan
pula diciptakan alam semesta ini, diciptakan dewa-dewa. Siapakah yang
mengetahui kapan kejadian itu?
Sabda suci yang serupa
juga terungkap dalam Bhagavadgita X.2 yang artinya:
Baik para dewa maupun resi agung tidak mengenal asal mulaKu. Sebab dalam
segala hal, Aku adalah sumber para dewa dan resi agung (Wayan dalam Aminah
.Eds, 2005: 93-94).
Theologi dalam terminologi agama Hindu disebut Brahma Vidya yaitu
pengetahuan tentang Brahma (Tuhan). Kesadaran para resi dan tokoh agama Hindu
akan keterbatasan bahasa definisi Tuhan, menimbulkan adagium atau term
yang menyatakan bahwa Tuhan itu Neti, Neti, Neti (bukan ini, bukan ini,
bukan ini). Karena dalam Brahmasutra dinyatakan bahwa Tuhan itu, Tad
avyaktam, aha hi (sesungguhnya Tuhan tidak terkatakan) (Wayan dalam Aminah
.Eds, 2005: 96).
Dalam keyakinan agama Hindu, Brahman atau Tuhan hanyalah satu, esa, tidak
ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaanNya, para resi dan orang-orang
yang bijak menyebutnya dengan beragam nama.
Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa
Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit
sekali diketahui wujudnya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam
terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal
God) artinya Tuhan tidak berpribadi dan Transenden.
Meski Brahman tidak terjangkau pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun
jikalau Brahman menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mudah
dilakukan. Brahman yang berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman
(personal God), Tuhan yang berpribadi atau immanent.
Kedua konsep Tuhan yang impersonal dan personal tersebut di atas dapatlah
ditemukan dalam mantra Bhagavadgita IV.6,7,8 dan Bhagavadgita XII,1 dan 3
dengan sebutan sebagai berikut.
1. Paranaamam; Tuhan Maha Tinggi dan Abstrak, Kekal Abadi tidak
berpribadi impersonal, nirkara (tak berwujud), nirguna (tanpa
sifat guna) dan Brahman.
Tuhan atau Brahman dalam bentuk yang abstrak tersebut di Bali disebut Sang
Hyang Suung, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Sunya. Karena tidak berbentuk,
sulit dibayangkan dan dipikirkan (acintya, Bali).
2. Vyuhanaama; Tuhan berbaring pada ular di lautan susu. Gambaran
Tuhan seperti ini hanya bisa dilihat oleh para dewa. Di Bali penjelasan seperti
itu disebut Hana Tan Hana (Ada tidak Ada), artinya Tuhan itu diyakini ada,
namun tidak bisa dilihat.
3. Vibhawanaama; Tuhan dalam bentuk ini disebut Avatara (turun
menyebrang). Tuhan. Ia juga biasa disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal
god). Visualisasinyapun dapat
- Tumbuhan/binatang (Unanthropomorphes): tumbuhan Soma, Ikan, Kura-kura, Babi Hutan, Garuda.
- Setengah Manusia-binatang (semi-antropomorphes): Hayagrva yaitu manusia berkepala kuda , Natrasimha yaitu manusia berkepala singa.
- Bentuk manusia dengan segala kelebihannya (anthro-pomorphes) seperti Vamana, Sri Raama, Kresna, Bhagawan Sri Sathya Narayana.
4. Antaraatmanama; Tuhan meresapi segalanya dalam bentuk atma atau
zat ketuhanan. Segalanya adalah Brahman (monisme).
5. Archananaama; Tuhan yang terwujudkan dalam bentuk archa atau pertima
(replika mini) seperti patung dalam berbagai bahan dan wujud.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa ketuhanan dalam agama Hindu
adalah perpaduan dari monoteisme transenden, monoteisme imanen, dan monisme yang disebut pantheisme. Sekali lagi, ditegaskan
dalam agama Hindu apapun wujud dan rupanya Tuhan diyakinain hanya satu (esa).
Keesaan Tuhan atau Brahma itu dibuktikan dalam berbagai mantra-mantra
(ayat-ayat) dalam Veda seperti pada Rg. Veda I.64.46 yang berbunyi:
Mereka menyebutnya dengan Indra, Mitra,
Varuna, dan Agni
Beliau yang bersayap keemasan Garutman
Beliau Esa orang bijaksana menyebutNya banyak
Nama: Indra, Yama, Marisvan
Mantra di atas juga sama disebutkan dalam Bhagavadgita XI.39 dan juga dalam
Savastava. 3 yang menyebutkan bahwa Tuhan itu disebut dengan berbagai nama,
walaupun sesungguhnya Brahman itu Esa.
Brahman menurut Veda juga tidak berjenis kelamin dan berusia. Dengan kata
lain jenis kelamin dan usia segalanya ada pada diri Tuhan (Artharvaveda.X.8.27:
Rgveda VIII.58.2). Hal tersebut logis menurut Vedanta, karena Tuhan adalah
segalanya dalam kaitannya konsep monisme. Dengan begitu Tuhan menurut Veda
adalah seorang Anak, seorang Ibu, Bapa, Nenek, Datuk, Kekasih dan sekaligus
adalah gabungan itu semua, atau bukan semua hal seperti.
Kedudukan Tuhan dan Sifat
Tuhan
Dalam Veda diungkapkan
bahwa Tuhan ada di mana-mana, Maha Ada. Tuhan ada dalam dekat hati, dalam diri
kita, sehingga muncul istilah mahavakya: Aham Brama Asmi: Aku adalah Tuhan.
Tuhan juga ada pada diri anda, atau dalam mahavakya: Tat Tvam Asi (itu kamu
adalah Tuhan. Dalam Rgveda, X.82-3: Yajur dan Atharvaved, II,1.3) disebutkan
(Mavinkurve, 1998: 70):
Bapak kami, pencipta kami, penguasa kami,
Yang mengetahui semua tempat, segala yang ada
Dialah satu-satunya, memakai nama dewa yang
berbeda-beda,
Dialah yang dicari oleh semua mahkluk dengan
renungan
Di dalam Rgveda, X.186.2, dinyatakan selain sebagai Bapak, Penguasa, dan
Pencipta, juga sebagai Kawan dan Saudara:
Ya Tuhan, Engkau Bapa Kami, Saudara kami, dan Kawan kami.
Adapun sifat Tuhan dalam Veda dan sastra-sastra Hinduistis sangatlah banyak
sekali, namun disini disebutkan diantaranya adalah:
Anima (maha halus), Lghina (maha ringan), Mahima (maha ajaib dan
besar), Prapti (maha cepat mencapai tujuan), Nirguna (tanpa sifat
guna), Nirkara (tak berwujud), Nirvisesa (tanpa ciri), Akarta
(tak terwakili), Achintya (tak terpikirkan), Nirupadhi (tak
terbatas), Niskalo (tak terbagi), Nirjano (tak terlahirkan).
Dewa
Sesungguhnya kata Deva berasal dari kata div, yang berarti sinar yang
memiliki sepuluh makna leksikal yaitu: bermain, menaklukkan, aktivitas,
kemuliaan, penghormatan, menyenangkan, kerinduan, tidur, keindahauhan dan, dan
kemajuan.
Namun hakekatnya dewa-dewa itu sebenarnya adalah manisfestasi sinarnya
Tuhan dalam fungsi tertentu. Matahari bersinar karena dijiwai, diberi spirit
oleh Tuhan.
Dewa-dewa itu adalah nama
Tuhan dalam berbagai multi fungsi dan dimensi kebesaran dan kemuliaanNya .
Kekuasaan dan fungsi Tuhan yang sedemikian tinggi dan luas dan dalam, maka
Tuhan memanifestasikan diri (bersinar) dalam wujud dewa-dewa. Bisa dikatakan
dewa-dewa itu adalah ciptaan Tuhan meski seakan-akan terpisah dari Tuhan,
padahal sesungguhnya dewa-dewa itu bagian integral dari kebesaran dan
kecermelangan sinar Tuhan sebagaimana terukngkap dalan Rgveda (Pudja, 1995:
58):
Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung, penuh kebijaksanaan,
menganugerahkan karunia kepada mereka yang bersinar cemerlang, semoga para
pencari pengetahuan spiritual, mengetahui rahasia 33 dewa.
Selanjutnya ke 33 dewa
tersebut dibedakan menurut tempat dan tugasnya masing-masing seperti tertuang
dalam Rgveda.I. 139.11 yang berbunyi:
Wahai para dewa (33 dewa): 11 di sorga, 11 di bumi, 11 berada di langit,
semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini.
Dalam Satapatha Brahmana,
XIV.5) disebutkan:
Sesungguhnya Ia mengatakan: adalah kekuatan yang agung dan dasyat sebanyak
33 dewa. Siapakah dewata itu? Mereka adalah delapan wasu, 11 Rudra, 12 aditya.
Jumlah seluruhnya 31, (kemudian ditambah) Indra dan Prajaapati, seluruhnya
menjadi 33 dewata.
Delapan Vasu tersebut adalah:
1. Anala: (agni; dewa api)
2. Dhavaa (dewa bumi)
3. Anila atau Vayu (dewa angin)
4. Prabhasa atau dyaus (dewa
langit)
5. Pratyusa atau surya (dewa
matahari)
6. Aha atau savitr (dewa
antariksa)
7. Candraa atau somma (dewa
bulan)
8. Druva atau Druha (dewa
konstelasi planet)
Adapun kesebelas dewa
lainnya, Rudra (ekadasarudra) diyakini sebagai dewa Siwa dalam bentuk
murti atau marah (kodra) yang menguasai 11 penjuru dialam raya. Meski jumlah
dewa itu banyak namun tugas utama tetap dipengang oleh trimurti yang sebelumnya
mengalami perubahan istilah yaitu:
1. Dewa Agni diganti dan disamakan dengan dewa Brahma yang berfungsi
sebagai pencipta.
2. Dewa Indra dan Bayu
diganti dan disamakan dengan Dewa Wisnu. Di dalam Veda, Wisnu adalah nama lain
dari dewa Surya. Wisnu sebagai dewa pemelihara.
3. Dewa surya diganti dan
disamakan dengan dewa siwa, berfungsi sebagai dewa pelebur, melebur kembali segala
sesuatu yang tidak berfungsional lagi.
1.
Dewa Brahma
Dewa Brahma adalah dewa pencipta dalam agama Hindu. Dewa Brahma dilukiskan
berwajah empat atau lebih dikenal dengan sebutan Catur Muka. Dewa Brahma
memiliki sakti Dewi Saraswati perlambang ilmu pengetahuan. Dewa Brahma
beraksara Ang, bersenjatakan Gada dan berwarna merah. Dalam Tri Kona disbut
juga Uppeti. Dewa Brahma juga memiliki wahana yaitu Angsa.
2.
Dewa Wisnu
Dewa Wisnu adalah dewa pemelihara dalam agama Hindu. Dewa Wisnu akan turun ke
dunia sebagai awatara bila adharma merajarela. Dewa Wisnu memiliki sakti Dewi
Sri perlambang kesuburan. Dewa Wisnu beraksara Ung, bersenjatakan Cakra dan
berwarna hitam. Dalam Tri Kona disebut juga Stiti. Dewa Wisnu juga memiliki
wahana Burung Garuda.
Dewa
SiwaDewa Siwa adalah dewa pelebur dalam agama Hindu. Dewa Siwa adalah dewa yang
tertinggi dalam agama Hindu. Dewa Siwa memiliki sakti Dewi Durga ibu dari Dewa
Ganesha dan Kumara. Dewa Siwa beraksara Mang, bersenjatakan Tri Sula dan
berwarna Panca Warna. Dalam Tri Kona disebut juga Pralina. Dewa Siwa juga
memilki wahana Lembu Nandini. Konon Dewa Siwa berstana di Gunung Himalaya.
C.
SEMBAHYANG
Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa,
roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja.
Sembah yang dapat dilakukan secarabersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa
tradisi agama, sembah yang dapat melibatkan nyanyian berupa hymne, tarian,
pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan
formal kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa.
Seringkali sembah yang dibedakan dengan doa, doa lebih bersifat spontan dan personal, serta umumnya tidak bersifatritualistik.
Meskipun demikian padahakikatnya aktivitasini sama, yakni sebuah bentuk komunikasi
antara manusia dengan Tuhannya.
Kebanyakan agama menggunakan salah
satu cara dalam melaksanakan ritual persembahyangannya. Beberapa agama
meritualkan kegiatan ini dengan menerapkan berbagai aturans eperti waktu,
tatacara, dan urutan sembah yang. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai
apasaja yang harus disediakan, misalnya benda persembahan atau
sesaji, serta kapan ritual itu harus dilakukan. Sementara beberapa pandangan lainnya
memandang berdoa atau bersembahyang dapt dilakukan kapan saja, oleh siapa saja.
Dalam Hindu terdapat berbagai macam persembahyangan, doa (Sanskerta: prārthanā) atau puja. Dilakukan
berdasarkan beberapa hari suci dalam agama Hindu atau pemujaan pada dewa atau arwah
yang dihormati. Persembahyangan dapat dilakukan dalam kuil keluarga maupun pura di lingkungannya. Ritual terkadang melibatkan apiatau air
sebagai lambing kesucian. Pembacaan suatu bait mantra terus menerus dengan notasi
danwaktu tertentu, atau juga meditasi dalam yang di arahkan pada dewa
yang dituju. Pemujaandalam Hindu dapat ditujukan
kepada arwah seseorang suci yang dimuliakan,dewata, salah satu atau seluruh Trimurti; dewa tertinggi dalam Hinduisme perwujudanTuhan,
atau meditasi untuk mencapai kebijaksanaan sejati, mencariketiadaan takber bentuk
seperti yang dilakukan para resi dan orang suci pada dahulu kala. Beberapa tarian
sacral juga dianggap sebagai salah satu prasyarat kelengkapan suatu upacara keagamaan.
Kesemuanya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan spiritual pribadi atau mencapai pencerahan spiritual.
Hindu dapat bersembahyang kepada kebenaran dan keberadaan absoluter tinggi yang
disebut Brahman, atau secara umum ditujukan kepada salah satu manifestasinya dalam
Trimurti, yakni Brahma sebagai dewa pencipta,
Wishnu sebagai dewa pemelihara, Shiwa sebagai dewa penghancur. Atau diarahkan pada Awatara, penitisanWishnu di atas bumi yaitu
Rama dan Krishna. Pemujaan juga dapat ditujukan pada shakti dewa, yakni dewi-dewi pasangan sang dewa. Umat Hindu biasanya bersembahyang dengan
mengatupkan kedua telapak tangan dengan khidmat yang disebut 'pranam' dalam bahasa
Sanskerta.
RESUME PERTEMUAN KE TIGA
A.
AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN
SEEMBAHYANG
1.
Ajaran Tentang KeTuhanan
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti
terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara
pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena
itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan
mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua,
Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan
cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah
sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam
Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha
menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat
dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan
dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak
menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak
terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat,
Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun
juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan
bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana
yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah
mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama
sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu
bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya,
apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak
mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan
hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada
si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar
pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa,
bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu
diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma
mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana.
Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada.
Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa
diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu
dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri.
Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur
Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu
jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu
Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar,
Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi
Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau
pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha
harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan
agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam
Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali)
.[3].
B.
Konsep Adi
Buddha
Adhi
budha adalah salah satu salah satu sebutan Tuhan Yang Maha Esa dalam agama
Buddha sebutan ini berasal dari tradisi aisvarika dalam aliran Mahayana di
Nepal yang menyebar lewat benggala hingga dikenal di pulau jawa, sedangkan
aisvarika adalah sebutan dari penganut dari paham agama Budda, kata ini berasal
dari kata ‘isvara’ yang berarti Tuhan atau maha Buddha atau Tuhan Yang Maha
Esa. Konsep Adi Buddha ini menurut
tradisi Vajrayana/Tantrayana menunjukkan prajna dan benih Kebuddhaan dalam
setiap insan(Tataghatagarbha).
Sebutan lain Adi Buddha:
Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi),
Vajradhara (Tradisi: Kargyud & Gelug),
Samantabhadra (TradisI: Nyingma),
Untuk menjelaskan konsep Adi Buddha dalam Vajrayana/Tantrayana :
- Seperti yang diketahui Trikaya yang dimiliki seorang Buddha : Dharmakaya (Tubuh Kebenaran), Samboghakaya (Tubuh kebahagiaan) dan Nirmanakaya(Tubuh penjelmaan).
- Dharmakaya adalah karakteristik dari semua Buddha misal Mahavairocana. Sewaktu seorang Buddha ingin menampakkan dirinya, ia muncul lewat sambhogakaya misalnya dalam wujud Amitabha Buddha. Sewaktu ia datang ke dunia samsara ini, ia menggunakan tubuh penjelmaan untuk mencapai tujuan tujuan tertentu misal dalam wujud Sakyamuni Buddha
Sebutan lain Adi Buddha:
Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi),
Vajradhara (Tradisi: Kargyud & Gelug),
Samantabhadra (TradisI: Nyingma),
Untuk menjelaskan konsep Adi Buddha dalam Vajrayana/Tantrayana :
- Seperti yang diketahui Trikaya yang dimiliki seorang Buddha : Dharmakaya (Tubuh Kebenaran), Samboghakaya (Tubuh kebahagiaan) dan Nirmanakaya(Tubuh penjelmaan).
- Dharmakaya adalah karakteristik dari semua Buddha misal Mahavairocana. Sewaktu seorang Buddha ingin menampakkan dirinya, ia muncul lewat sambhogakaya misalnya dalam wujud Amitabha Buddha. Sewaktu ia datang ke dunia samsara ini, ia menggunakan tubuh penjelmaan untuk mencapai tujuan tujuan tertentu misal dalam wujud Sakyamuni Buddha
Kita akan
membahas mengenai konteks Sang Hyang Adi Buddha, yang mana istilah ini
digunakan oleh beberapa kelompok umat Buddha untuk menjelaskan kepada orang
lain tentang KeTuhanan dalam Buddhisme.
1. Kenapa tercipta adanya rujukan KeTuhanan dalam agama Buddha di Indonesia.
Kata ini digunakan oleh Y.M. Ashin Jinarakkhita pada saat membangkitkan Buddhisme di Indonesia. Mengingat Indonesia adalah agama dengan Pancasila, sila Pertama yaitu KeTuhanan Yang Maha. Maka dikarenakan dalam konteks Buddhism tidak ditemukan namanya Tuhan dibuatkan nama Sang Hyang Adi Buddha yang hanya terdapat dalam Buddhisme Indonesia saja. begitu juga dengan pemikiran Buddhayana yang terbentuk hanya berada dalam Indonesia sedangkan Buddhism di luar negeri lebih mengenal adanya Theravada, Mahayana, dan Vajrayana.
Istilah
Sanghyang Adi Buddha ini tidak terdapat dalam Tipitaka, melainkan terdapat
dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa
Kawi/bahasa Jawa kuno.
2. Artinya apa
2. Artinya apa
Sang Hyang Adi Buddha merujuk pada benih kebudhaan yang terdapat dalam diri seorang,dalam Mahayana Adi Buddha merujuk pada primordial Buddha yang menggariskan Dhamma Universal yang sama. ini juga akan merujuk pada Sambhogakaya,Nirmanakaya, dan Dharmakaya.
3. Setelah pemerintah mengakui kembali Buddhism yang memiliki Tuhan didalamnya maka Buddhism diterima sebagai salah satu dari 5 agama diakui di Indonesia. Catatan perjalanan Y.M Ashin Jinarakita masih bisa kita trace di Vihara Ekayana sebagai founder utama Buddhism Buddhayana dan bangkitnya Buddhism di Indonesia.
4. Penyalahgunaan beberapa pihak sering menggambarkan bahwa Buddhism memiliki konsep keTuhanan, hal ini telah jelas ditampik oleh cendekiawan Buddhist yang menjelaskan KeTuhanan dalam Buddhism. sebagai referensi adalah artikel "KeTuhanan dalam agama Buddha" oleh Bp.Cornelis Wowor yang dengan jelas menegaskan bahwa Buddhism tidak bersandar pada kontek KeTuhanan karena akan menimbulkan pemahaman yang salah; namun penekanan Buddhism adalah pada Buddhavacana yang digariskan oleh Sang Buddha.
Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
C.
BHAKTI PUJA
Seluruh
agama yang terdapat di duniainimemilikidoa-doa yang di
persembahkanumatuntukditujukankepadaTuhan.
Doa-doatersebutdilakukanketikaumatmelaksanakankebaktianataupunupacarakeagamaandanpulalah
yang dilakukanumat Buddha.
Umat
Buddha Dharma begitumendalam,
sedangkankemampuanintelektualitasmasing-masingberbeda. Makadisampingadacara
yang sulitatausukarada pula caramudahnyaseperti Upay-Kausalnya, sedangkan
Dharma yang dibabarkanolehHyang Buddha secarafilosofisadalahkebenaran Absolut
dantidaklahmudahdimengertiolehsebagianumat Buddha.
DalamUpaya-Kausalnyadalammerealisasikan
Buddha Dharma dandijalankanoleh para umat Buddha Mahayana yang
mempunyaiartispritual yang dalam, jugalebihmudahdihayatidanlebihsempurnadirealisasikanbilamanaumat
Buddha Mahayana telahmengerti tri-kaya yang merupakanfilsafat
Agama Buddha Mahayana. Menurutpaham Mahayana semua Buddha mempunyai tri-kaya
atau ‘Tiga-tubuh’ yang terdiridari : Dharma-Kaya, Sambogha-Kaya,
danNirmana-Kaya.
·
Dharma-Kaya adalahTubuh Dharma atauTubuhSpritual,
merupakansesuatu yang absolutyaitusifat ‘Ketuhanan Yang MahaEsa’, yang
sangatsulitdimengertisehingga para Buddha dan Bodhisattva
memanifestassikannyapadabentukRuphyangatauarcaataulukisangambar.
·
Sambogha-Kaya adalahTubuhPemberkahanatauTubuhKenikmatan,
berkahataupembalasanbaik Buddha yang merasakankebahagiaanatasusahanyasendiri.
Yang terbagiduabagianyaitu : (1). Sambogha-puja yang
dinikmatisendiriyaitu
tubuh yang telahmencapaipenerangan, (2). Sambogha-kaya yngdinikmatibersama,
samasajasepertiSambogha yang dinikmatisendirihanyaini di nikmatibersama.
·
Nirmana-Kaya adalahTubuhPenjelmaanyaituSambogha-kaya
Buddha menyalinrupauntukmembabarkan Dharma demi menolongataumenyelamatkan para
makhlukdarisegalapenderitaan.
Daftar Pusta :
I Wayan Nur Kancana. 1997.
Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: Bali Post.
Wiwin Siti Aminan (Eds),
2005. Sejarah,Teologi, dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mavinkurve at all. 1998. Ilmu
Pengetahuan dan Spriritual. Terjemahan I Wayan Maswinara. Surabaya:
Penerbit Paramita.
Pudja, G. 1995. Sama
Veda Samhita: Teks dan Terjemahan. Jakarta: Hanuman Sakti
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/ketuhanan-dalam-agama-buddha/
[1]
. D.D. Harsa Swarbodhi M.A.Upamana-praman
Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan
Hindu Dhrma. Medan:Yayasan Perguruan”budaya” & I.B.C. 1980. Hal.
51
[2]
Harsa Swarbodhi. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi
falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dhrma. Hal. 52
[3]
Harsa Swarbodhi. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi
falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dhrma. Hal.52
RESUME PERTEMUAN KE EMPAT
PENCIPTAAN ALAM DAN MANUSIA BAGI AGAMA HIDHU DAN BUDHA
A.
Peroses Penciptaan Alam dan Manusia bagi Agama Hindhu
1.
Penciptaan Alam
Alam ini dipandang oleh
Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah
berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa
Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4
tingkatan (periode), yaitu:
·
Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
·
Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
·
Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
·
Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa
umat manusia.
Akhirnya sebagai periode
penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari
pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang
dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap
gulita[1].
Menurut pendapat Harun
Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana
agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian sang Hyang Widi memancarkan
kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi
dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran
panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur
sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet yang
bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai
berikut: Karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal)
yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua
kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam
pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa,
rajas, dan tamah.
Sesudah itu timbullah
buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara
(rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya
(rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya
(penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah
indra-indra ini timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat
alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman).
Akhirnya unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir
kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair (air), dan
zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena
pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah
brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan
planet-planet, termasuk bumi kita ini.
2.
Terjadinya
Manusia
Mengenai terjadinya
manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api,
air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit,
asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan
unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra,
dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan,
yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua
unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan
pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka
sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur
cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia,
dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau
anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia[2].
B.
Penciptaan Alam
dan Manusia Menurut Agama Buddha
1.
Penciptaan Alam
Dalam bahasa
Pali, alam semesta disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini
adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak
kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada,
yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta
adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat
kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain
yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak
kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi
yang tidak bersyarat.
Ada tiga
tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa
dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian.
Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
·
Tradisi pikiran
kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang
bertanggung jawab akan segala sesuatu.
·
Tradisi pikiran
ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan
karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir.
·
Ajaran Budha
sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran
ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia
memiliki suatu permulaan[3].
2.
Ajaran Tentang
Manusia
Manusia,
menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental
yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima
kelompok kegemaran yaitu:
a.
Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk)
b.
Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan)
- Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
d.
Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran.
3.
Hubungan
Penciptaan Alam dan Manusia
Maksud tiga ajaran di atas tersebut adalah sebagai berikut
·
Hubungan manusia
kepada Tuhan, diwujudkan dalam berbagai bentuk pelaksanaan agama dan
keagamaan, sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang damai. Seperti
Sembahyang, upakara yadnya sebagai bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
·
Hubungan manusia dengan
manusia, yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi
dan hidup rukun.
·
Hubungan manusia dengan
alam, hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri
dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi
yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
[1] H.M. Arifin, Belajar
Memahami Ajaran Agama-agama Besar, h. 54-55.
[2] Harun Hadiwijono, Agama
Hindu dan Buddha, h. 173.
[3] Sri
Dammananda, Keyakinan Umat Budha, penerjemah: Ida Kurniati (Jakarta:
Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation, 2005), h. 432.
[4]
Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 124