Kamis, 01 Mei 2014

TUGAS RESUME KELOMPOK 6



Resume Hindhu dan Budha di Indonesia

Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Kajian Dasar Hindhu dan Budha di Indonesia  

 

Disusun Oleh Kelompok VI:

AULIYA NUFUS
SITI MALIHA UZMA
AGUS AN'IN
MARDIANTO

Fakultas Ushluddin
Jurusan Perbandingan Agama (A)
UIN Syarif Hidayatullah
JAKARTA
               2013-2014            


RESUME PERTEMUAN KE SATU
SEJARAH KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDHU DAN BUDHA DI INDONESIA

1.      Kedatanganan dan Pembawanya
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali di mulai dengan kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta mahluk-mahluk yang ajaib. Kedatangan orang-orang majapahit menciptakan zaman baru. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman majapahit, di Bali Selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara tahun 600 dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa  kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena pengaruh Mataram.[1] Pada akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11 di Bali memerintah seorang raja, Dharmodayana yang berpermaisurikan keturuna Empu Sindok, Mahendradatta, dan melahirkan Erlangga. Dengan demikian pada waktu itu Bali dihubungkan dengan Jawa. Erlangga kemudian memerintah atas Jawa, sedang di Bali memerintah atas nama Erlangga, seorang adiknya. Sesudah Erlangga wafat agaknya hubungan antara Jawa dan Bali menjadi kendor. Pada tahun 1284, Krtanagara, raja Singasari menaklukkan Bali. Penaklukkan ini agaknya hanya bersifat sementara saja, sebab pada tahun 1383 Majapahit mengutus tentaranya di bawah pimpinan Gajah Mada menyerbu Bali. Kali ini penaklukkan dilakukan secara mendalam. Gajah Mada mendatangkan bangsawan-bangsawan dari Majapahit. Pemimpin para bangsawan ini mendirikan suatu kerajaan dengan ibukotanya Srampangan, yang kemudian dipindahkan ke Klungkung. Raja ini bergelar Dewa Agung. Sesudah Majapahit jatuh pada awal abad ke-16, Bali terisolir dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, hingga kedatangan bangsa Belanda. Sebelum kedatangan Belanda, Bali dan Jawa berkembang sendiri-sendiri[2]
Hindu merupakan agama impor yang pertama kali masuk ke Indonesia dan berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang notabenenya sudah mempercayai Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai pembaharu dari agama Hindu yang dibawa oleh Sidharta Gautama.  Yang pada perjalannya sang Buddha sendiri melakukan pengembaraan untuk mencari penerahan yang abadi. Sedangakan Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar abad ke 7 M, yang dibawa oleh para Rsi maupun para Bikhhu.  Harun Hadiwijono mengatakan bahwa kira-kira abad ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia memasuki Indoneisa dari daratan Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu jalur utara dan barat.  Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin, dan menyebrang di Sulawesi, Indoneisa bagian Timur, Irian dan Melanesia, sedangakan jalur barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.Dan dari perjalan atau jalur tersebut, saya berpendapat ini merupakan salah satu cara masuknya atau berkembanganya pengaruh agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:
a.       Teori Brahman
Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahman.  Hanya kaum Brahmanalah yang berhak mempelajari serta mengajarkan agama Hindu karena hanya kaum Brahmanlah yang  mengerti isi kitab suci Weda.
b.      Teori Kesatria
Menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
c.       Teori Wasiya
Yang dikemukakan oleh N.J. Krom, mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang dari kasta waisya yang menetap di Indonesai dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu
d.      Teori Sudra
Von van Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta sudra. Tujuan mereka adalah mengubah kehidupan karena di India mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan budak.  Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
e.       Teori Campuran
Teori ini beranggapan bahwa baik kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun golongan sudra bersama-sama menyebarkan agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan peran masing-masing
f.       Teori Arus Balik
Menurut pendapat FD. K. Bosh, teori arus balik ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Buddha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta
Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
Pada dasarnya teori  Brahmana, Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah  bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda
Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa teori  di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan 
2.       Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak tutur manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Khususnya  Pulau Jawa tradisi lokal pribumi Jawa sendiri sejak dulu telah mewarnai kebudayaan setempat.  Di tambah lagi dengan masuknya pengaruh dari Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa karena memang banyak kesamaan dengan kepecayaan asli bangsa Indonesia.  Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan Hindu-Buddha di Indonesia.
3.      Persamaan dan Perbedan dengan Hindhu dan Budha di Indonesia
·         Persamaan Hindhu di Indonesia dan di Bali
Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India
adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu: 


1. Percaya dengan adanya Tuhan, 


2. Percaya dengan adanya Atman, 


3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala, 


4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara, 


5. Percaya dengan adanya Moksa

4.      Pengertian Hindhu Dharma dan Budha Dharma
·         Kata "Dharma" berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr" (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata "dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur.
·         Dharma adalah ajaran yang benar ajaran sang Buddha. Ajaran yang diajarkan oleh orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna; sang Buddha. Ada tiga kaidah keagamaan bagi agama Buddha yang disebut Sutra (ajaran yang diajarkan oleh sang Buddha sendiri), Vinaya (disiplin-disiplin yang diberikan oleh sang Buddha), dan Abidharma (komentar-komentar dan diskusi-diskusi tentang Sutra dan Vinaya oleh para sarjana di zaman-zaman belakangan). Ketiga-tiganya ini disebut Tripitaka, dan Dharma itu merupakan satu dari Tri Ratna atau Tiga Mustika agama Buddha.[3]
Namun di kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan Buddha  Gautama tidak harus dipandang sebagai agama atau filsafat saja, karena pengertian yang menunjuk kepada arti agama atau filsafat atau semua  fenomena yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam istilah dharma (sansesekerta) ataudhamma (pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Gautama. Dengan demikian, pemakaian istilah Buddha   Dharma atau Buddha Dhamma lebih sering dipergunakan oleh para pemeluk agama Buddha dari pada istilah agama.



[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[2] Ibid.
[3] Bukkyo Dendo Kyokai; Ajaran Sang Buddha.h.174.

                                                                                                                                                                

 RESUME PERTEMUAN KE DUA
         



A.     KONSEP KETUHANAN DAN DEWA DALAM AGAMA HINDU
    Sesungguhnya agama Hindu adalah agama tertua di dunia, hal itu bisa dibuktikan dalam usia penelitian kitab-kitab Weda yang dilontarkan oleh para ahli bahwa agama yang berasal dari benua India ini tumbuh dan berkembang pada sekitar 6000 tahun sebelum masehi.
Bahkan dalam ekspedisi penggalian di Mesir telah ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hitites. Dalam perjanjian tersebut juga ada istilah Maitra Waruna yaitu sebagai gelar manisfestasi Sang Hyang Widhi Wasa yang menurut agama Hindu disebut-sebut dalam Weda disebut saksi.
Sedangkan perkembangannya di Indonesia diperkirakan masuk pada awal tahun Masehi yang dibawa oleh para musafir dari India seperti Maha Resi Agastya yang dalam istilah Jawanya terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana serta para musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.
Menurut I Wayan Suja proses Agama Hindu cepat berkembang di negeri ini karena adanya persamaan unsur-unsur antara agama Hindu dan dengan kepercayaan asli, seperti 1) agama Hindu memuja Brahman dan para dewa, sedangkan kepercayaan nenek moyang kita memuja roh leluhur. 2) tempat pemujaan agama Hindu berupa lingga, candi, dan arca, sedangkan tempat pemujaan nenek moyang berupa menhir, punden berundak, tahta batu, dan patung. 3) upacara agama Hindu dipimpin oleh kaum Brahmana, sedangkan upacara nenek moyang dipimpin oleh dukun (I Wayan, Bali Post, 1997: 85). Adapun pembuktian secara fisik sangat signifikan dengan adanya peninggalan prasasti dan bangunan suci (seperti candi-candi yang tersebar di Indonesia).
Keesaan Tuhan serta WujudNya
Tidaklah mudah untuk memberikan penjelasan tentang Tuhan karena keterbatasan akal manusia, hal itu menunjukkan begitu kecilnya manusia dihadapanNya. Meski begitu manusia tetaplah membaktikan dirinya dihadapanNya sebagamana tertuang dalam sabda suci Rg veda X.129.6 yaitu:
Sesungguhnya siapakah yang mengenalaNya. Siapa pula yang dapat mengatakan kapan penciptaan itu. Dana kapan pula diciptakan alam semesta ini, diciptakan dewa-dewa. Siapakah yang mengetahui kapan kejadian itu?
Sabda suci yang serupa juga terungkap dalam Bhagavadgita X.2 yang artinya:
Baik para dewa maupun resi agung tidak mengenal asal mulaKu. Sebab dalam segala hal, Aku adalah sumber para dewa dan resi agung (Wayan dalam Aminah .Eds, 2005: 93-94).
           
Theologi dalam terminologi agama Hindu disebut Brahma Vidya yaitu pengetahuan tentang Brahma (Tuhan). Kesadaran para resi dan tokoh agama Hindu akan keterbatasan bahasa definisi Tuhan, menimbulkan adagium atau term yang menyatakan bahwa Tuhan itu Neti, Neti, Neti (bukan ini, bukan ini, bukan ini). Karena dalam Brahmasutra dinyatakan bahwa Tuhan itu, Tad avyaktam, aha hi (sesungguhnya Tuhan tidak terkatakan) (Wayan dalam Aminah .Eds, 2005: 96).
Dalam keyakinan agama Hindu, Brahman atau Tuhan hanyalah satu, esa, tidak ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaanNya, para resi dan orang-orang yang bijak menyebutnya dengan beragam nama.
Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali diketahui wujudnya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal God) artinya Tuhan tidak berpribadi dan Transenden.
Meski Brahman tidak terjangkau pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun jikalau Brahman menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mudah dilakukan. Brahman yang berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God), Tuhan yang berpribadi atau immanent.
Kedua konsep Tuhan yang impersonal dan personal tersebut di atas dapatlah ditemukan dalam mantra Bhagavadgita IV.6,7,8 dan Bhagavadgita XII,1 dan 3 dengan sebutan sebagai berikut.
1. Paranaamam; Tuhan Maha Tinggi dan Abstrak, Kekal Abadi tidak berpribadi impersonal, nirkara (tak berwujud), nirguna (tanpa sifat guna) dan Brahman.
Tuhan atau Brahman dalam bentuk yang abstrak tersebut di Bali disebut Sang Hyang Suung, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Sunya. Karena tidak berbentuk, sulit dibayangkan dan dipikirkan (acintya, Bali).
2. Vyuhanaama; Tuhan berbaring pada ular di lautan susu. Gambaran Tuhan seperti ini hanya bisa dilihat oleh para dewa. Di Bali penjelasan seperti itu disebut Hana Tan Hana (Ada tidak Ada), artinya Tuhan itu diyakini ada, namun tidak bisa dilihat.
3. Vibhawanaama; Tuhan dalam bentuk ini disebut Avatara (turun menyebrang). Tuhan. Ia juga biasa disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal god). Visualisasinyapun dapat
    1. Tumbuhan/binatang (Unanthropomorphes): tumbuhan Soma, Ikan, Kura-kura, Babi Hutan, Garuda.
    2. Setengah Manusia-binatang (semi-antropomorphes): Hayagrva yaitu manusia berkepala kuda , Natrasimha yaitu manusia berkepala singa.
    3. Bentuk manusia dengan segala kelebihannya (anthro-pomorphes) seperti Vamana, Sri Raama, Kresna, Bhagawan Sri Sathya Narayana.
4. Antaraatmanama; Tuhan meresapi segalanya dalam bentuk atma atau zat ketuhanan. Segalanya adalah Brahman (monisme).
5. Archananaama; Tuhan yang terwujudkan dalam bentuk archa atau pertima (replika mini) seperti patung dalam berbagai bahan dan wujud.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa ketuhanan dalam agama Hindu adalah perpaduan dari monoteisme transenden, monoteisme imanen, dan monisme yang disebut pantheisme. Sekali lagi, ditegaskan dalam agama Hindu apapun wujud dan rupanya Tuhan diyakinain hanya satu (esa). Keesaan Tuhan atau Brahma itu dibuktikan dalam berbagai mantra-mantra (ayat-ayat) dalam Veda seperti pada Rg. Veda I.64.46 yang berbunyi:
Mereka menyebutnya dengan Indra, Mitra, Varuna, dan Agni
Beliau yang bersayap keemasan Garutman
Beliau Esa orang bijaksana menyebutNya banyak
Nama: Indra, Yama, Marisvan
Mantra di atas juga sama disebutkan dalam Bhagavadgita XI.39 dan juga dalam Savastava. 3 yang menyebutkan bahwa Tuhan itu disebut dengan berbagai nama, walaupun sesungguhnya Brahman itu Esa.
Brahman menurut Veda juga tidak berjenis kelamin dan berusia. Dengan kata lain jenis kelamin dan usia segalanya ada pada diri Tuhan (Artharvaveda.X.8.27: Rgveda VIII.58.2). Hal tersebut logis menurut Vedanta, karena Tuhan adalah segalanya dalam kaitannya konsep monisme. Dengan begitu Tuhan menurut Veda adalah seorang Anak, seorang Ibu, Bapa, Nenek, Datuk, Kekasih dan sekaligus adalah gabungan itu semua, atau bukan semua hal seperti.

Kedudukan Tuhan dan Sifat Tuhan
Dalam Veda diungkapkan bahwa Tuhan ada di mana-mana, Maha Ada. Tuhan ada dalam dekat hati, dalam diri kita, sehingga muncul istilah mahavakya: Aham Brama Asmi: Aku adalah Tuhan. Tuhan juga ada pada diri anda, atau dalam mahavakya: Tat Tvam Asi (itu kamu adalah Tuhan. Dalam Rgveda, X.82-3: Yajur dan Atharvaved, II,1.3) disebutkan (Mavinkurve, 1998: 70):
Bapak kami, pencipta kami, penguasa kami,
Yang mengetahui semua tempat, segala yang ada
Dialah satu-satunya, memakai nama dewa yang berbeda-beda,
Dialah yang dicari oleh semua mahkluk dengan renungan
Di dalam Rgveda, X.186.2, dinyatakan selain sebagai Bapak, Penguasa, dan Pencipta, juga sebagai Kawan dan Saudara:
Ya Tuhan, Engkau Bapa Kami, Saudara kami, dan Kawan kami.
Adapun sifat Tuhan dalam Veda dan sastra-sastra Hinduistis sangatlah banyak sekali, namun disini disebutkan diantaranya adalah:
Anima (maha halus), Lghina (maha ringan), Mahima (maha ajaib dan besar), Prapti (maha cepat mencapai tujuan), Nirguna (tanpa sifat guna), Nirkara (tak berwujud), Nirvisesa (tanpa ciri), Akarta (tak terwakili), Achintya (tak terpikirkan), Nirupadhi (tak terbatas), Niskalo (tak terbagi), Nirjano (tak terlahirkan).
Dewa
Sesungguhnya kata Deva berasal dari kata div, yang berarti sinar yang memiliki sepuluh makna leksikal yaitu: bermain, menaklukkan, aktivitas, kemuliaan, penghormatan, menyenangkan, kerinduan, tidur, keindahauhan dan, dan kemajuan.
Namun hakekatnya dewa-dewa itu sebenarnya adalah manisfestasi sinarnya Tuhan dalam fungsi tertentu. Matahari bersinar karena dijiwai, diberi spirit oleh Tuhan.
Dewa-dewa itu adalah nama Tuhan dalam berbagai multi fungsi dan dimensi kebesaran dan kemuliaanNya .
Kekuasaan dan fungsi Tuhan yang sedemikian tinggi dan luas dan dalam, maka Tuhan memanifestasikan diri (bersinar) dalam wujud dewa-dewa. Bisa dikatakan dewa-dewa itu adalah ciptaan Tuhan meski seakan-akan terpisah dari Tuhan, padahal sesungguhnya dewa-dewa itu bagian integral dari kebesaran dan kecermelangan sinar Tuhan sebagaimana terukngkap dalan Rgveda (Pudja, 1995: 58):
Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung, penuh kebijaksanaan, menganugerahkan karunia kepada mereka yang bersinar cemerlang, semoga para pencari pengetahuan spiritual, mengetahui rahasia 33 dewa.
Selanjutnya ke 33 dewa tersebut dibedakan menurut tempat dan tugasnya masing-masing seperti tertuang dalam Rgveda.I. 139.11 yang berbunyi:
Wahai para dewa (33 dewa): 11 di sorga, 11 di bumi, 11 berada di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini.

Dalam Satapatha Brahmana, XIV.5) disebutkan:
Sesungguhnya Ia mengatakan: adalah kekuatan yang agung dan dasyat sebanyak 33 dewa. Siapakah dewata itu? Mereka adalah delapan wasu, 11 Rudra, 12 aditya. Jumlah seluruhnya 31, (kemudian ditambah) Indra dan Prajaapati, seluruhnya menjadi 33 dewata.


Delapan Vasu tersebut adalah:
1. Anala: (agni; dewa api)
2. Dhavaa (dewa bumi)
3. Anila atau Vayu (dewa angin)
4. Prabhasa atau dyaus (dewa langit)
5. Pratyusa atau surya (dewa matahari)
6. Aha atau savitr (dewa antariksa)
7. Candraa atau somma (dewa bulan)
8. Druva atau Druha (dewa konstelasi planet)
Adapun kesebelas dewa lainnya, Rudra (ekadasarudra) diyakini sebagai dewa Siwa dalam bentuk murti atau marah (kodra) yang menguasai 11 penjuru dialam raya. Meski jumlah dewa itu banyak namun tugas utama tetap dipengang oleh trimurti yang sebelumnya mengalami perubahan istilah yaitu:
1. Dewa Agni diganti dan disamakan dengan dewa Brahma yang berfungsi sebagai pencipta.
2. Dewa Indra dan Bayu diganti dan disamakan dengan Dewa Wisnu. Di dalam Veda, Wisnu adalah nama lain dari dewa Surya. Wisnu sebagai dewa pemelihara.
3. Dewa surya diganti dan disamakan dengan dewa siwa, berfungsi sebagai dewa pelebur, melebur kembali segala sesuatu yang tidak berfungsional lagi.

1.      Dewa Brahma
Dewa Brahma adalah dewa pencipta dalam agama Hindu. Dewa Brahma dilukiskan berwajah empat atau lebih dikenal dengan sebutan Catur Muka. Dewa Brahma memiliki sakti Dewi Saraswati perlambang ilmu pengetahuan. Dewa Brahma beraksara Ang, bersenjatakan Gada dan berwarna merah. Dalam Tri Kona disbut juga Uppeti. Dewa Brahma juga memiliki wahana yaitu Angsa.

2.       Dewa Wisnu
Dewa Wisnu adalah dewa pemelihara dalam agama Hindu. Dewa Wisnu akan turun ke dunia sebagai awatara bila adharma merajarela. Dewa Wisnu memiliki sakti Dewi Sri perlambang kesuburan. Dewa Wisnu beraksara Ung, bersenjatakan Cakra dan berwarna hitam. Dalam Tri Kona disebut juga Stiti. Dewa Wisnu juga memiliki wahana Burung Garuda.

Dewa SiwaDewa Siwa adalah dewa pelebur dalam agama Hindu. Dewa Siwa adalah dewa yang tertinggi dalam agama Hindu. Dewa Siwa memiliki sakti Dewi Durga ibu dari Dewa Ganesha dan Kumara. Dewa Siwa beraksara Mang, bersenjatakan Tri Sula dan berwarna Panca Warna. Dalam Tri Kona disebut juga Pralina. Dewa Siwa juga memilki wahana Lembu Nandini. Konon Dewa Siwa berstana di Gunung Himalaya.


C.    SEMBAHYANG

Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Sembah yang dapat dilakukan secarabersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama, sembah yang dapat melibatkan nyanyian berupa hymne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa.
Seringkali sembah yang dibedakan dengan doa, doa lebih bersifat spontan dan personal, serta umumnya tidak bersifatritualistik. Meskipun demikian padahakikatnya aktivitasini sama, yakni sebuah bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.
Kebanyakan agama menggunakan salah satu cara dalam melaksanakan ritual persembahyangannya. Beberapa agama meritualkan kegiatan ini dengan menerapkan berbagai aturans eperti waktu, tatacara, dan urutan sembah yang. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai apasaja  yang  harus disediakan, misalnya benda persembahan atau sesaji, serta kapan ritual itu harus dilakukan. Sementara beberapa pandangan lainnya memandang berdoa atau bersembahyang dapt dilakukan kapan saja, oleh siapa saja.
Dalam Hindu terdapat berbagai macam persembahyangan, doa (Sanskerta: prārthanā) atau puja. Dilakukan berdasarkan beberapa hari suci dalam agama Hindu atau pemujaan pada dewa atau arwah yang dihormati. Persembahyangan dapat dilakukan dalam kuil keluarga maupun pura di lingkungannya. Ritual terkadang melibatkan apiatau air sebagai lambing kesucian. Pembacaan suatu bait mantra terus menerus dengan notasi danwaktu tertentu, atau juga meditasi dalam yang di arahkan pada dewa yang  dituju. Pemujaandalam Hindu dapat ditujukan kepada arwah seseorang suci yang dimuliakan,dewata, salah satu atau seluruh Trimurti; dewa tertinggi dalam Hinduisme perwujudanTuhan, atau meditasi untuk mencapai kebijaksanaan sejati, mencariketiadaan takber bentuk seperti yang dilakukan para resi dan orang suci pada dahulu kala. Beberapa tarian sacral juga dianggap sebagai salah satu prasyarat kelengkapan suatu upacara keagamaan.
Kesemuanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan  spiritual  pribadi atau mencapai pencerahan spiritual. Hindu dapat bersembahyang kepada kebenaran dan keberadaan absoluter tinggi yang disebut Brahman, atau secara umum ditujukan kepada salah satu manifestasinya dalam Trimurti, yakni  Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, Shiwa sebagai dewa penghancur. Atau diarahkan pada Awatara, penitisanWishnu di atas bumi yaitu  Rama dan Krishna. Pemujaan juga dapat ditujukan pada shakti dewa, yakni dewi-dewi pasangan sang  dewa. Umat Hindu biasanya bersembahyang dengan mengatupkan kedua telapak tangan dengan khidmat yang disebut 'pranam' dalam bahasa Sanskerta.
  RESUME PERTEMUAN KE TIGA

A.    AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN SEEMBAHYANG
1.      Ajaran Tentang KeTuhanan
Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali)
.[3].

B.     Konsep Adi Buddha
Adhi budha adalah salah satu salah satu sebutan Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha sebutan ini berasal dari tradisi aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal yang menyebar lewat benggala hingga dikenal di pulau jawa, sedangkan aisvarika adalah sebutan dari penganut dari paham agama Budda, kata ini berasal dari kata ‘isvara’ yang berarti Tuhan atau maha Buddha atau Tuhan Yang Maha Esa.  Konsep Adi Buddha ini menurut tradisi Vajrayana/Tantrayana menunjukkan prajna dan benih Kebuddhaan dalam setiap insan(Tataghatagarbha).
Sebutan lain Adi Buddha:
Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi),
Vajradhara (Tradisi: Kargyud & Gelug),
Samantabhadra (TradisI: Nyingma),
Untuk menjelaskan konsep Adi Buddha dalam Vajrayana/Tantrayana :
 - Seperti yang diketahui Trikaya yang dimiliki seorang Buddha : Dharmakaya (Tubuh Kebenaran), Samboghakaya (Tubuh kebahagiaan) dan Nirmanakaya(Tubuh penjelmaan).
- Dharmakaya adalah karakteristik dari semua Buddha misal Mahavairocana. Sewaktu seorang Buddha ingin menampakkan dirinya, ia muncul lewat sambhogakaya misalnya dalam wujud Amitabha Buddha. Sewaktu ia datang ke dunia samsara ini, ia menggunakan tubuh penjelmaan untuk mencapai tujuan tujuan tertentu misal dalam wujud Sakyamuni Buddha

Kita akan membahas mengenai konteks Sang Hyang Adi Buddha, yang mana istilah ini digunakan oleh beberapa kelompok umat Buddha untuk menjelaskan kepada orang lain tentang KeTuhanan dalam Buddhisme.

1. Kenapa tercipta adanya rujukan KeTuhanan dalam agama Buddha di Indonesia.

     Kata ini digunakan oleh Y.M. Ashin Jinarakkhita pada saat membangkitkan Buddhisme di Indonesia. Mengingat Indonesia adalah agama dengan Pancasila, sila Pertama yaitu KeTuhanan Yang Maha. Maka dikarenakan dalam konteks Buddhism tidak ditemukan namanya Tuhan dibuatkan nama Sang Hyang Adi Buddha yang hanya terdapat dalam Buddhisme Indonesia saja. begitu juga dengan pemikiran Buddhayana yang terbentuk hanya berada dalam Indonesia sedangkan Buddhism di luar negeri lebih mengenal adanya Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. 
Istilah Sanghyang Adi Buddha ini tidak terdapat dalam Tipitaka, melainkan terdapat dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa Kawi/bahasa Jawa kuno.

2. Artinya apa

Sang Hyang Adi Buddha merujuk pada benih kebudhaan yang terdapat dalam diri seorang,dalam Mahayana Adi Buddha merujuk pada primordial Buddha yang menggariskan Dhamma Universal yang sama. ini juga akan merujuk pada Sambhogakaya,Nirmanakaya, dan Dharmakaya.

3. Setelah pemerintah mengakui kembali Buddhism yang memiliki Tuhan didalamnya maka Buddhism diterima sebagai salah satu dari 5 agama diakui di Indonesia. Catatan perjalanan Y.M Ashin Jinarakita masih bisa kita trace di Vihara Ekayana sebagai founder utama Buddhism Buddhayana dan bangkitnya Buddhism di Indonesia.

4. Penyalahgunaan beberapa pihak sering menggambarkan bahwa Buddhism memiliki konsep keTuhanan, hal ini telah jelas ditampik oleh cendekiawan Buddhist yang menjelaskan KeTuhanan dalam Buddhism. sebagai referensi adalah artikel "KeTuhanan dalam agama Buddha" oleh Bp.Cornelis Wowor yang dengan jelas menegaskan bahwa Buddhism tidak bersandar pada kontek KeTuhanan karena akan menimbulkan pemahaman yang salah; namun penekanan Buddhism adalah pada Buddhavacana yang digariskan oleh Sang Buddha.
Kebenaran melampaui batas persepsi agama...

C.    BHAKTI PUJA

Seluruh agama yang terdapat di duniainimemilikidoa-doa yang di persembahkanumatuntukditujukankepadaTuhan. Doa-doatersebutdilakukanketikaumatmelaksanakankebaktianataupunupacarakeagamaandanpulalah yang dilakukanumat Buddha.
Umat Buddha Dharma begitumendalam, sedangkankemampuanintelektualitasmasing-masingberbeda. Makadisampingadacara yang sulitatausukarada pula caramudahnyaseperti Upay-Kausalnya, sedangkan Dharma yang dibabarkanolehHyang Buddha secarafilosofisadalahkebenaran Absolut dantidaklahmudahdimengertiolehsebagianumat Buddha.
DalamUpaya-Kausalnyadalammerealisasikan Buddha Dharma dandijalankanoleh para umat Buddha Mahayana yang mempunyaiartispritual yang dalam, jugalebihmudahdihayatidanlebihsempurnadirealisasikanbilamanaumat Buddha Mahayana telahmengerti tri-kaya yang merupakanfilsafat Agama Buddha Mahayana. Menurutpaham Mahayana semua Buddha mempunyai tri-kaya atau ‘Tiga-tubuh’ yang terdiridari : Dharma-Kaya, Sambogha-Kaya, danNirmana-Kaya.
·                     Dharma-Kaya adalahTubuh Dharma atauTubuhSpritual, merupakansesuatu yang absolutyaitusifat ‘Ketuhanan Yang MahaEsa’, yang sangatsulitdimengertisehingga para Buddha dan Bodhisattva memanifestassikannyapadabentukRuphyangatauarcaataulukisangambar.  
·                     Sambogha-Kaya adalahTubuhPemberkahanatauTubuhKenikmatan, berkahataupembalasanbaik Buddha yang merasakankebahagiaanatasusahanyasendiri. Yang terbagiduabagianyaitu : (1). Sambogha-puja yang dinikmatisendiriyaitu                   tubuh yang telahmencapaipenerangan, (2). Sambogha-kaya yngdinikmatibersama, samasajasepertiSambogha yang dinikmatisendirihanyaini di nikmatibersama.  
·                     Nirmana-Kaya adalahTubuhPenjelmaanyaituSambogha-kaya Buddha menyalinrupauntukmembabarkan Dharma demi menolongataumenyelamatkan para makhlukdarisegalapenderitaan.
           
Daftar Pusta :
I Wayan Nur Kancana. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: Bali Post.
Wiwin Siti Aminan (Eds), 2005. Sejarah,Teologi, dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mavinkurve at all. 1998. Ilmu Pengetahuan dan Spriritual. Terjemahan I Wayan Maswinara. Surabaya: Penerbit Paramita.
Pudja, G. 1995. Sama Veda Samhita: Teks dan Terjemahan. Jakarta: Hanuman Sakti
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/ketuhanan-dalam-agama-buddha/



[1] . D.D. Harsa Swarbodhi M.A.Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dhrma. Medan:Yayasan Perguruan”budaya” & I.B.C. 1980. Hal. 51
[2] Harsa Swarbodhi. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dhrma. Hal. 52
[3] Harsa Swarbodhi. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dhrma. Hal.52



RESUME PERTEMUAN KE EMPAT
PENCIPTAAN ALAM DAN MANUSIA BAGI AGAMA HIDHU DAN BUDHA

A.     Peroses Penciptaan Alam dan Manusia bagi Agama Hindhu
1.      Penciptaan Alam
Alam ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:
·         Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
·         Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
·         Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
·         Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita[1].
Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian  sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut:  Karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya (rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya (penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman). Akhirnya unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair (air), dan zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, termasuk bumi kita ini.
2.      Terjadinya Manusia
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia[2].
B.     Penciptaan Alam dan Manusia Menurut Agama Buddha
1.      Penciptaan Alam
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
·         Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
·         Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir.
·         Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan[3].
2.      Ajaran Tentang Manusia
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
a.       Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk)
b.      Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan)
  1. Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
d.      Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran.
e.       Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran)[4]
3.      Hubungan Penciptaan Alam dan Manusia
Maksud tiga ajaran di atas tersebut adalah sebagai berikut
·         Hubungan manusia  kepada Tuhan, diwujudkan dalam berbagai  bentuk pelaksanaan agama dan keagamaan, sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang  damai. Seperti Sembahyang, upakara yadnya sebagai  bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
·         Hubungan manusia dengan manusia, yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi dan hidup rukun.
·         Hubungan manusia dengan alam, hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.






[1] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar,  h. 54-55.
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 173.
[3] Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, penerjemah: Ida Kurniati (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation, 2005), h. 432.
[4] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 124
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar