Kamis, 26 Juni 2014

Resume kelompok 6 materi dari setelah UTS


RESUME HINDU BUDHA DI INDONESIA
Kelompok 6
Auliya  Nufus
Siti Maliha Uzma
Agus An’in
Mardiato

9. Ajaran Hindu tentang Caur Marga
Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Widhi) yaitu :
  • Bhakti Marga
  • Karma Marga
  • Jnana Marga.
  • Yoga Marga
Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti digunakan untuk menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi statusnya, atau lebih luas lingkupnya misalnya : orang tua, negara, bangsa, Tuhan (Hyang Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan, istri/suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang Widhi disebut Bhakta.
Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu PARA BHAKTI dan APARA BHAKTI. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakabhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi.
Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai simbol (niyasa).
Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma. Bhakta yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (ber-dana punia), Jnana Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri). Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat inteligensi dan kesadaran rohani masing-masing. Yang ditemukan di masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix para dan apara bhakti, namun bobotnya berbeda.
Umat Hindu di Bali banyak menggunakan apara bhakti, sedangkan umat Hindu diluar Bali banyak menggunakan para bhakti. Kenapa demikian ? Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang ? Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali yang inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi tetapi dibelenggu oleh tradisi beragama yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan diri sebagai apara bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat, demokrat, rasional dan reformis, sehingga memudahkan mereka mencapai para bhakti. Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena bottle-neck yang menghadang ya itu tadi : tradisi beragama dan feodalisme. Itulah sedikit ulasan kasus tentang para dan apara bhakti.

10. Ajaran Hindu tentang Panca Yadnya
Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana.
Arti kata Tri Hita Karana : 
—  ·  Tri artinya tiga
—  ·  Hita artinya kehidupan
—  ..    Karana artinya penyebab
Artinya  tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. 
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya. 
Yang dimaksud dengan Panca Yadnya adalah : Panca artinya lima dan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi Wasa. 
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu.
1. Upacara Dewa Yadnya
Dewa asal kata dalam bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi.
Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. 
Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.
2. Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta artinya unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi” Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali). 
Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan
3. Upacara Manusa Yadnya
Manusa artinya manusia
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya adalah
a. Upacara Bayi Lahir
a.      Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
b.      Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.

b.Upacara Tutug Kambuhan, Tutug Sambutan dan Upacara Mepetik.
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga).
Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan.
Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama kalinya.
Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. 
Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
c.Upacara Perkawinan
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :

- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu).
Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan(barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" ( Sarana Pemutusan ) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
4. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben )
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. 
Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa.
Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi).
5. Upacara Rsi Yadnya
Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Resi Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat. 
Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.

11. Ajaran Budha tentang Bhavana
 PENGERTIAN BHAVANA
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.
Pembagian Bhavana
Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
  1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
  2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:
  1. Tujuannya Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.
Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi.Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.
Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.
Sesungguhnya “dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain”.
  1. Obyeknya Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.
  2. Penghalangnya Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.
Samatha Bhavana
1.      EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI
Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang.Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya.Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.
Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
  1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
    1. Pathavi kasina = wujud tanah
    2. Apo kasina = wujud air
    3. Teja kasina = wujud api
    4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
    5. Nila kasina = wujud warna biru
    6. Pita kasina = wujud warna kuning
    7. Lohita kasina = wujud warna merah
    8. Odata kasina = wujud warna putih
    9. Aloka kasina = wujud cahaya
    10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas
  2. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
    1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
    2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
    3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
    4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
    5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
    6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
    7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
    8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
    9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
    10. Atthika = wujud tengkorak
  3. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
    1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
    2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
    3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
    4. Silanussati = perenungan terhadap sila
    5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
    6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
    7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
    8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
    9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
    10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana
  4. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
    1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
    2. Karuna = belas kasihan
    3. Mudita = perasaan simpati
    4. Upekkha = keseimbangan batin
  5. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
  6. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
  7. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
    1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
    2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
    3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
    4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :
  1. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)
Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.
Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya.Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar.Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja.Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.
  1. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)
Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, “Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari”. Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak dan lain-lain.
  1. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)
Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.
Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.
Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.
Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.
Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.
Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukannya.
Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian.
Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.
Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.
Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.
  1. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)
Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.
Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya.Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati.Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya.Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.
Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.
Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.
Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.
  1. Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
    Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).
  2. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
    Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :
    1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.
    2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
    3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.
    4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.
  3. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)
    Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, “Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!” dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.
Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, “Tak terbataslah kesadaran itu”.Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.
Dalam natthibhavapaññati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas itu.Ia terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini”.
Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi
12. Upacara Kelahiran, Kematian, Perkawinan dalam Agama hindu
Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan  selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra Matrpuja Nadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.
Kelahiran bayi 
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika  sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada disekitarnya. 
 Tata cara upacara Jatakarma                     
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam sebuah kulit  ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung menghadap arah kaki tempat tidur si bayi 
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
  • Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di telinga bayi itu  sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan kesehatan.
  • Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi :”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur panjang…..”dan seterusnya.
  • Kekuatan  juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.
Perbedaan-perbedaan 
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari. 
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan  sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih dan nasi kuning  yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk masalah penting dalam penanganannya.
Upacara setelah kelahiran bayi  
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak  yang dilaksanakan ketika bayi berumur  12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran  yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
Tata cara upacara  Bajong Colong 
Sejumlah lilin dinyalakan dan potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah disiapkan namanya. 
Upacara kambuhan 
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci. 
Upacara Tigang Sasih 
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur  tiga bulan,di India upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Tata cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi tersebut,Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika.Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi.Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur  tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Upacara weton 
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.
Perkawinan dalam agama Hindu
Pengertian perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
  • Batiniah,yaitu:
  1. pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
  2. mempelai harus agama yang sama
  • lahiriah, yaitu:
  1. faktor usia
  2. bibit,bebet,bobot
  3. tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
ü  Pedewasaan(mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
ü  Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
ü  Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.
ü  Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
ü  Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
  1. 1.      Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar  kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita  atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
  2. Upacara pekala-kalaan
Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem  orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem perkawinan ini tetap  dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
ü  Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.
ü  Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
ü  Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
  1. Pelaksanaan upacara mekala-kalan
  2. Upacara mejaya-jaya
  3. Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut.
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial,yaitu bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara membadik,jika membadik  calon pengantin pria yang meminag calon pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh keluarga pengantin wanita.
 Bentuk-bentuk perkawinan 
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan  menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
Arsa Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
Prajapati Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu  pengantin wanita  memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
Asura Wiwaha
Jika pengantin pria menerima  seorang perempuan berdasarkan cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
Gandarwa Wiwaha
Pertemuan   antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
Raksasa Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah gadis tersebut
Paisaca Wiwaha

13. Upacara Klahiran, Kematian dan Perkawinan Agama Budha
A.    Upacara Kelahiran

Kelahiran dan Bayi Upacara

Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan. 
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci. 
               Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga . 
                Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam. 
Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.
B.     Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
13. Hari-hari Suci dan Tempat-tempat suci Agama Budha 
Upacara-upacara, baik yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan maupun kenegaraan, sebenarnya adalah suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan. Dengan sendirinya bentuk-bentuk upacara itu sesuai dengan keadaan, jaman, alam, suasana, selera, dan cara berfikir si pembuatnya atau pelaksananya. Dari berbagai macam upacara yang di lakukan oleh umat buddhis dengan corak ragam yang berlainan bila di teliti mempunyai makna yang sama dalam semua upacara agama Buddha, sebenernya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

a.      Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur triratna
b.      Memperkuat sradha (keyakinan yang benar) dengan tekad
c.       Membina paramita (sifat bajik yang luhur)
d.      Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah sang Buddha goutama
e.       Melakukan anumodana ( membagi perbuatan baik kita pada mahluk lain)

Upacara yang mengandung lima prinsip tersebut telah di jadikan kebiasaaan dan sering di lakukan, dari bentuknya yang sederhana sampai yang rumit. Dengan demikian akan membawa makin seringnya ucapan dan perbuatan kita di tunjukan kepada kebajikan seperti terkendalinya fikiran-fikiran negatif dan berkembangnya fikiran-fikiran fositif,
Secara terperinci manfaat yang langsung dapat di peroleh dari upacara ialah:
  1. Serada akan berkembang
  2. Paramita akan berkembang
  3. Samvara ( indra) akan terkendali
  4. Santutthi (puas)
  5. Santhi (damai)
  6. Sukha (bahagia)

Untuk dapat memiliki manafaat yang sebenarnya maka kita harus melaksanakan upacara yang benar, sesuai denagn makana yang terkandung dalam upacara itu.

*Magha puja

          Hari suci magha puja biasanya jatuh pada purnama sidhi bulan februari-maret . pada hari ini umat Budha memperingati dua kejadian penting dalam masa hidup sang Budha gautama, yaitu :
  1. Berkumpulnya 1250 bhikshu yang telah mencapai tingkat kesucian arhat di vihara veluvana di kota rajagraha untuk memberi hormat pada sang Buddha Gautama keistimewaan yang terjadi sekembalinya menyebarkan Dharma ialah :
  • 1250 bhikshu yang terkumpul itu semuanya arhat
  • 1250 bhiksu itu semuanya adalah Ehi Bhikshu (Bhikshu yang di tahbiskan oleh sang Budha Gautama sendiri)
  • 1250 bhiksu itu semuanya datang tanpa berjanji (persetujuan) terlebih dahulu
  • Pada kesempatan itu sang Buddha Gautama menerangkan prinsip-prinsip ajaran- Nya yang disebut Ovada pratimoksha, yaitu :
Sasvapapasya  akaranam (Jangan bebuat kejahatan)
Kusalasyupasampada (Berbuatlah kebajikan)
Svacittaparyavadapanam (Sucikan hati dan pikiran)
Etad Buddhanasasanam   (Inilah ajaran Buddha)
  1. Pada tahun terakhir dari kehidupan sang Budha gautama yaitu sewaktu belia berdiam di cetia pavala di kota vaisali. Setelah beliau memberikan kothbah “idhipada dharma”kepada para siswanya, beliau berdiam sendiri dan membuat keputusan untuk parinirvana tiga bulan kemudian.                        

1. Hari Suci Magha Puja Hari suci Magha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :

1. Seribu dua ratus lima puluh orang bhikshu datang berkumpul tanpa pemberitahuan  terlebih dahulu.
2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
4. Mereka semua ditasbihkan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”
Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu :
1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahirm Yang dahulu.         
2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan  kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
3. Asavakkhayanana, berarti kemampuan untuk memusnahkan asava (kotoran batin)
4. Cetoporiyanana, berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
 a. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu    

  menjadbanyak dan dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk  “menyalin rupa”, umpamanya  menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
c. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.
d. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
e. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti :
   Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
   Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
   Kemampuan berjalan diatas air.
   Kemampuan melawan air.
   Kemampuan terbang di angkasa.

2. Hari suci Waisak 

            Hari suci waisak puja biasanya jatu pada purnama sidhi bulai mei- juni. Pada hari suci ini umat Buddha memperingati 3 peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha gautama yaitu :

1. Lahir nya sidharta gautama di taman lumbini, tahun 623 SM
2. Sidarta Gotama mencapai bodhi ( Penerangan Sempurna) dan menjadi Buddha , tahun 588 SM, pada usianya yang ke 35 tahun di bawah pohon ghodhi, hutan gaya
3. Buddha Gotama mencapai Parinivana tahun 543 SM, pada usia 80 tahun, di kusinara atau kusinaraga.

            Peristiwa Suci Waisak mengajak umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati kembali perjuangan hidup Buddha Gotama. Seorang Putera Mahkota Siddharta Gotama yang dibesarkan dengan segala kemewahan di dalam istananya, ternyata rela meninggalkan semuanya itu demi cinta kasihnya kepada semua makhluk. Beliau pergi meninggalkan istana bukan karena terpaksa atau dipaksa, juga bukan karena kepentingan pribadi. Beliau pergi meninggalkan istana dan segala kesenangan duniawi karena dorongan untuk mencari sesuatu yang hakiki. Beliau berjuang dengan gigih dan pantang menyerah dalam upaya mencari jalan yang dapat membebaskan makhluk dari segala bentuk penderitaan.

3. Hari Suci Asadha  
Hari suci Asadha puja biasanyajatuh pada purnamasidhi bulan mei-juni. Pada hari suci ini umat Buddhamemperingati dua peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha sang Buddhagauama yaitu :      
1. Saat pertamakalinya sang Buddha gautama memberikan khotbah setelah beliau menjad uddha, khotbah tersebut di kenal dengan nama “dharmacakrapravartana” atau “ khotbah pemutaran roda kebenaran “ yang berisi catvari arya satyani/empat kesunyataan mulia.  
2. Pada saatini pulalah sangha yang pertama muncul di dunia engan sang Buddha gautama sendiri yang bertindak selaku nayaka (ketuan) nya.
Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :

1. Dukkha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang adanya dukkha.
2. Dukkha Samudaya Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang sebab dukkha.
3. Dukkha Nirodha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya dukkha
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang Jalan untuk melenyapkan dukkha..
           Tanha terdiri atas tiga jenis, yaitu : 
1. Kama tanha, yang berarti keinginan akan kenikmatan-kenikmatan indria.
2. Bhava tanha, yang berarti keinginan akan kelangsungan atau perwujudan.
3. Vibhava tanha, yang berarti keinginan akan pemusnahan.

Ariya Atthangika Magga ini terdiri atas :
1. Samma Ditthi, yang berarti Pandangan Benar.
2. Samma Sankappa, yang berarti Pikiran Benar.
3. Samma Vaca, yang berarti Ucapan Benar.
4. Samma Kammanta, yang berarti Perbuatan Benar.
5. Samma Ajiva, yang berarti Penghidupan Benar.
6. Samma Vayama, yang berarti Daya Upaya Benar.
7. Samma Sati, yang berarti Perhatian Benar.
8. Samma Samadhi, yang berarti Konsentrasi Benar. 
4. Hari Suci Kathina            
Hari suci kathina puja di rayakan tiga bulan setelah Asadha, perayaan dapat di langsungkanpada dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnyamasa vassa.
            Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih kepada para Bhikkhu / Bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam) yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina. Dalam Kitab Mahavagga berbahasa Pali, bagian dari Vinaya Pitaka, Sang Buddha mengatakan kepada para bhiksu, ketika Beliau berada di Jetavana Arama milik Anathapindhika, dikota Savantthi, sebagai berikut :
“Aku memperolehkan Anda sekalian, oh para bhikku,
untuk menerima Kain Kathina
sebagai bahan pembuatan jubah Kathina\\\\
jika telah menyelesaikan masa vassa”

            Kain Kathina ini biasanya dipersembahkan oleh umat Buddha kepada lima orang Bhikkhu atau lebih yang bervassa bersama-sama di satu vihara. Jika jumlah Bhikkhu yang ber-vasa di vihara itu kurang dari lima orang, maka upacara pemberian Kain Kathina tidak bisa diadakan. Dengan demikian, yang dapat dipersembahkah oleh umat Buddha pada hari suci Kathina itu adalah Dana Kathina (bukan Kain Kathina).

            Selama masa vassa, para bhikshu / bhikshuni mempunyai tugas untuk membina diri dengan baik. Melalui meditasi dan mempelajari Buddha Dhamma untuk diketahui dan dikhotbahkan kepada orang banyak di dalam kehidupan masyarakat Buddhis. Denagn adanya masa vassa, para Bhikkhu / Bhikkhuni mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengisi dirinya dengan Buddha Dhamma dan untuk meningkatkan batinnya ke arah kesucian. Banyaknya masa vassa yang dijalankan oleh para bhikshu / bhikshuni ini menentukan senioritas mereka. Para bhikshu / bhikshuni yang telah menjalankan masa vassa sebanyak sepuluh kali sampai dengan sembilan belas kali akan mendapat gelar “Thera”. Para Bhikkhu / Bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa sebanyak dua puluh kali atau lebih akan mendapat gelar “Mahathera”
Para bhikshu / bhikshuni hidup amat sederhana. Mereka hanya mempunyai empat kebutuhan pokok, yaitu : 
1. Civara atau jubah ; cukup dengan satu model dan satu warna sederhana.
2. Pindapata atau makanan; cukup dua kali atau sekali sehari.
3. Senasana atau tempat tinggal; cukup satu ruangan sederhana, baik diikuti, di gubuk, di gedung, di gua-gua, atau di tempat-tempat lain.
4. Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.
*Makna Puja ( Doa)
            Menurut Bhikku Indoguno, Paritta Suci atau doa-doa agama Buddha merupakan kumpulan doa bagi agama Buddha. Doa-doa tersebut dibacakan oleh umat Buddha pada saat kebaktian dan upacara keagamaan. Dalam setiap kebaktian pembacaan paritta dilakukan oleh bhikku. “Pembacaan doa tersebut pun bisa dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama sesuai keperluan upacara itu sendiri,” ungkapnya. Kata paritta secara berarti perlindungan, paritta berisi syair-syair dalam bahasa Pali yang biasanya memiliki tujuan untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya atau ketidakberuntungan.
           
*Tempat-Tempat yang di Sucikan Dalam Agama Buddha 
            Bukan saja tempat di mana Buddha mencapai kebangkitanya, alam sendiri dapat di anggap sakral bagi umat bhuddha hal ini dapat kita lihat di beberapa negara, seperti tibet, atau tempat geografis lainya, seperti gunung, yang di kaitkan dengan para dewa bhuddha atau gunung juga di kaitkan dengan tempat tinggal dewa-dewa Budha. Hal yang sama juga dapat kita jumpai di negri cina, banyak gunung-gunung yang di kaitkan dengan tempat tinggal dewa-dewa bhuddha bahkan tempat duduk meditasi , seperti replik dari singga sana Buddha, bisa di anggap sesuatu skaral, roger m. Keesing (1976:566) mengatakan bahwa sakral atau sakralisasi adalah proses menjadi keramat atau transisi dari dunia sekular dunia biasa menuju ke dunia keramat, sedangkan keramat adalah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan terringgi atau yang melebihi dari kekuatan manusia, yang terdapat di alam semesta, memiliki arti atau suasana keagamaan yang khas.
Bukan saja di asi, pada abad ke 20dan 21 , kuil-kuil Buddha sudah menjadi pandangan umaum di eropa dan amerika utara, los ageles kadang-kadang di sebut sangat kompleks dan kota Budha yang berfariasi di dunia.          
            Penganut Buddha mensakralkan tempat-tempat di cina yang menggabungkan tiga gunung dengan tiga bhodisatteva utama : gunung wutai, di profinsi shanxi merupakan rumah wenshu (sanskrit, samantabhadra), bhodisatvha amal saleh atau budi luhur; dan gunung putuo di zeziang merupakan rumah guanyin (sanskrit, afalokiteshfara), bhodisattva cinta kasih. Gunung puia.

*SANGHA
             Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
  1. Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum    mencapai tingkat-tingkat kesucian.
  2. Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian 'Sangha' di dalam Sangha Ratana ini, berarti kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di dalam ajaran Agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci, yang disebut dengan istilah Ariya Puggala. Ariya puggala ini ada 4 tingkat, yaitu:
  1. Sotapanna = orang suci tingkat pertama (sotapatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi.
  2. Sakadagami = orang suci tingkat kedua (sakadagami-phala) yang akan terlahir sekali lagi (di alam nafsu).
  3. Anagami = orang suci tingkat ketiga (anagami-phala) yang tidak akan terlahir lagi (di alam nafsu).
  4. Arahat = orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian).
            Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
  1. Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
  2. Vicikiccha = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
  3. Silabbataparamasa = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
  4. Kamachanda / kamaraga = hawa nafsu indera
  5. Byapada / patigha = kebencian, dendam, itikad jahat.
  6. Ruparaga = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
  7. Aruparaga = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
  8. Mana = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
  9. Uddhacca = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
10.   Avijja = kegelapan / kebodohan batin.
  • Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.
  • Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
  • Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).
  • Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
  1. Lobha = ketamakan
  2. Dosa = kebencian
  3. Moha = kebodohan batin
  4. Mana = kesombongan
  5. Ditthi = kekeliruan pandangan
  6. Vicikiccha = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
  7. Thina-Middha = kemalasan dan kelambanan batin
  8. Uddhacca = kegelisahan
  9. Ahirika = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10.   Anottappa = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)
           Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.
        Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:
1.      Supatipanno
Bertindak / berkelakuan baik
2.      Ujupatipanno
Bertindak jujur / lurus
3.      Nayapatipanno
Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
4.      Samicipatipanno
Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
5.      Ahuneyyo
Patut menerima pemberian / persembahan
6.      Pahuneyyuo
Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
7.      Dakkhineyyo
Patut menerima persembahan / dana
8.      Anjalikaraniyo
Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
9.      Anuttaram punnakhettam lokassa
Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
           Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha. Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.

*Ajaran sangha
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
            Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai berikut : “Buddha sebagai bulan pernama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sagha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut.”
            Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha untuk            Setelah menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam Vinaya Pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriah;
  • Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian serta lain-lain kebutuhan hidup;
  • Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin;
  • Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
15. Hari-hari suci dan Tempat-tempat Suci Agama Hindu
Hari Nyepi (Tahun baru)

Hari Nyepi diperingati sebagai tahun baru Caka, yang jatuh sehari sesudah X (Kesada). Adapun Rangkaian Hari Nyepi (Tahun Baru Caka) ini, adalah sebagai berikut:
1.      Melis/Mekiis/Melasti, yang jatuh pada trayodasa krenapaksa sasih IX (Kesanga) atau pada pengelong 13 sasih Kesanga adalah Hari yang baik untuk mengkiyis atau melis ini, juga dimaksudkan untuk mengadakan pembersihan atau penyucian segala sarana dan prasarana perangkat alat-alat yang dipergunakan untuk persembahyangan. Melis ini biasa dilakukan dilaut atau pada sumber air yang lain sesuai dengan desa, kala dan patra umat masing-masing dengan tujuan memohon tirtha amertha (air kehidupan) dan tirtha pembersihan kehadapan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Maha Kuasa).
2.      Upacara Bhuta Yadnya (Tawur atau meracu), jatuhnya pada Tilem sasih kesanga. Hari ini disebut juga pengerupukan yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Di saat umat hindu bersiap untuk melepaskan tahun lama dengan mengadakan pecaruan agar segera kekuatan yang negatif tidak mengikuti manusia melangkah ketahun yang baru. Di samping itu adalah untuk menormalisir unsur-unsur panca Mahabhuta, yaitu lima unsur yang menjadi alam semesta (makrokosmos) dan badan makhluk hidup (mikrokosmos).
3.      Sipeng (Hari Nyepi), yang disebut juga sebagai tahun Baru Caka pada hari ini umat melakukan tapa, bratha, yoga, samadhi, satu hari penuh (24 jam), untuk mengekang hawa nafsu, tidak makan dan tidak minum. Pemadaman nafsu-nafsu ini diperagakann dengan tidak menyalakan apai (amati geni) tidak bekerja (amati karya), tidak berpergian (amati lelangun). Jelasnya pada sipeng ini kita menyucikan diri dan memusatkan pikiran dengan mengendalikan segala nafsu, berpuasa, bertapa samadhi menciptakan ketenangan dan kedamaian sehingga pikiran bisa bergerak menjelajahi atau meneliti kembali segala perbuatan yang telah diperbuat di masa lalu dan memupuk perbuatan yang baik serta melebur yang tidak baik. dengan hikmah Nyepi (Tahun Baru Caka) kita peringatkan agar berbuat dengan “ Sepi Ing Pamrih”.
4.      Ngembak Api (Gni), yang jatuh sehari setelah Nyepi. Hari ini memulainya aktivitas kita dengan panjatan doa, mohon semoga Hyang Widhi menganugrahi kita jalan yang terang, terlepas dari mkegelapan masa silam dan dengan jiwa terang memasuki Tahun Baru. Saat ini pulalah kita hendaknya salaing maaf memaafkan antara sesama manusia sebagi makhluk Tuhan.

       Hari Ciwaratri

Ciwaratri berarti malam renungan suci atau malam pelaburan dosa. Hari Ciwaratri jatuh pada Purwanining Tilem Ke VII (kepitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan januari. Pada hari ini kia melakukan Puasa dan Yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan hari Hyang widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidnya (kegelapan).
Hari ciwaratri kadang kala disebut juga hari pejagaran. Karena pada hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Yang bermanifestasikan sebagai Ciwa dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan Yoga Yoga semalam suntuk, karena Itu pada hari Ini kita memohon kehadapan- Nya agar segala dosa –dosa kita dapat dilebur.
Pada malam Ciwaratri ini. Setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya (dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Ciwaratri. Hal ini disebutkan dalam kitab Padma Purama. Bahwa sesungguhnya malam Ciwaratri itu adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang didalam hidupnya.

       Hari Galungan

Galunagan adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah hari pawedalam jagat.[1][3] Yaitu pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku Dungulan.[2][4]
Galungan merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma) nmelawan tidak benar (adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptkan Hyang Widhi ini.
Disamping itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan diiringi oleh para dewa dan para Pitara ke dunia.
              Sehari sebelum galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari Penampahan. Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan dalam rangka menyambut hari raya Galungan (Besoknya), karena pada hari Penampahan iini manusia berusaha digoda oleh nafsu-nafsunya yang bersifat negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya, yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang waspada dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai adanya dorongan nafsu marah, sering terjadi pertengkaran-pertengkaran .perselisihan dan lain sebagainya.

 Hari kuningan

Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari Kuningan kita hendaknya mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir bathin.
Pada hari kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yanng berwarna kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah simbol alat penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat atau tidur. Upacara persembanhyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari. 

         Hari Purnama dan Tilem

Purnama dan Tilem, Juga merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan untuk memohon berkah, rahkmat dan Karunia dari Hyang Widhi.
Pada hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah Payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur segala mala (kekotoran) yang ada di dunia.
Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang Widhi.
Demikianlah hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh umat Hindu untuk memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada hari Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyanngan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada pengalaman ajaran agama.
Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (krsna paksa). Baik purnama maupun Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari sekali.
Pada hari Purnama dan Tilem ini kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin, karena itu, disampping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting didalam kehidupan manusia. Disamping itu pula air merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.

    Hari Saraswati

Hari Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu pengetahuan dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu pengetahuan Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan hari penting untuk memuja kebesaran hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah dianugrahkan itu.
Dewi Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta), yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat menciptkan yang baru.
Jenis-jenis Tempat Suci

Jenis-jenis tempat suci berdasarkan atas karakternya. Dapat dibagi menjadi 4 empat bagian besar yaitu.
1.      Pura keluarga
Pura keluarga ini juga disebut Sanggah, pura Dadya, Pura Kawitan Pura Pedharman, Paibon, Panti dan lain sebagainya kelompok pura ini didukung oleh segolongan orang-orang yang mempunyai hubungan darah (genealogic). Oleh karena itu Pura –Pura iini ada dilingkunagan rumah tangga. Jika pendukungnya ada didalam lingkup yang lebih kecil disebut dengan Sanggah atau pamerajan, dan apabila keluarga bersangkutan telah bertambah besar dan meluas, maka didirikanlah pamerajan atau sejenisnya.
2.      Pura Desa
Pura Desa ini disebut pula pura kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, yaitu Pura temapt memuja Hyang widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Wisesa dan Tri Murti. Pura ini terdiri dari Pura Desa (Balai Agung) ialah tempat pemujaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma yaitu Pecipta, Pura Puseh atau Pura segera ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Wisnu yaitu pemelihara.
3.      Pura Kahyangan jagat ini juga disebut dengan pura umum, artinya adalah suatu Pura yang didukung dan disungsung oleh Umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia pada Khususnya dan seluruh Umat Hindu umumnya. Di Indonnesia, Pura yang paling besar yang tergolong Kahyangan jagat ini adalah Pura Besakih. Dalam perkembangan selanjutnya banyak lagi pura atau Kahyangan yang dapat di katagorikan sebagai Kahyangan Jagat, seperti misalnya Pura Mandara Giri Semeru Agung Senduro Lumajang Jawa Timur dan lain-lainya.
4.      Pura yang besifat Fungsional
Yang dimaksud dengan Pura Fungsional di sini adalah dimana pemuja, pendukung atau penyungsung dari Pura atau tempat suci tersebut mempunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal-hal tertentu. Tempat suci yang termasuk golongan Fungsional ini adalah Pura Subak (Ulun suwi/Ulun Carik) dan lain, sebagainya. Pura subak, mereka mempunyai kepentingan yang sama terutama dalam mendapatkan air untuk sawah-sawah mereka.maka bersama-sama lah mereka mendirikan Pura.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar